Sabtu, 13 Agustus 2011

Sensasi Jogja Biennale X


'Barrack Obama' Keliling Jogja

Isu utama yang diangkat Jogja Biennale X adalah Gerakan Arsip Seni Rupa. Maksudnya jelas, biennale kali ini yang telah merentang waktu dua puluh tahun mencoba menarik benang merah perjalanan kesenirupaan Jogja. Karenanya, Wahyudin, kurator terpilih melalui seleksi yang dilakukan pihak penyelenggara, dalam hal ini Taman Budaya Yogyakarta, memberi bingkai kuratorial mengenai gerakan arsip seni rupa yang berlangsung di Jogja.

Metode pengarsipan yang dikerjakan Wahyudin memungkinkan Jogja Biennale X merangkum gerakan seni rupa yang pernah tumbuh dan membesarkan para perupa sekaligus memberikan artikulasi pada sejarah seni rupa pada periodenya masing-masing. Lewat tilikan sejarah itu terdapat lima kecenderungan utama: humanisme kerakyatan; humanisme universal; perlawanan terhadap kemapanan estetika; pergolakan antara budaya lokal dan global; dan seni rupa urban.

Praktik seni rupa berparadigma humanisme kerakyatan direpresentasikan oleh kelompok Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat, dan Bumi Tarung. Humanisme universal dapat dilacak melalui karya-karya Handrio, Fadjar Sidik, Widayat, dan Sanggar Bambu. Perlawanan terhadap kemapanan estetika dilakukan kelompok Seni Kepribadian Apa (Pipa) dan Gerakan Seni Rupa Baru. Pergolakan antara budaya Lokal dan global tampak pada karya Mulyono, Heri Dono, serta sejumlah perupa yang memamerkan kreasinya lewat Rumah Seni Cemeti. Sedangkan Seni rupa urban bisa ditelusuri dalam karya-karya Apotik Komik, Taring Padi, Dagadu dan Jaran, Mess 56, dan The House of Natural Fiber.

Layaknya perhelatan, mengusung isu Gerakan Arsip Seni Rupa disepakati panitia --Direktur Jogja Biennale X, Butet Kertaradjasa-- terkesan formal-akademis. Untuk itulah, agar ‘bunyi’ dan memancing apresiasi masyarakat yang lebih luas (tidak sekadar mereka yang terlibat dalam dunia seni rupa) diberi imbuhan “Jogja Jamming”. Kata jamming oleh panitia diasosiasikan laksana jamm session pada panggung musik yang melibatkan keriuhan kelompok-kelompok band yang berpartisipasi.

Instalasi Firman Djamil di Sudut Kota Jogja

Pesona keriuhan itu akhirnya menderas pada ruang publik (public on the move) yang pada mulanya mendampingi karya-karya yang dipajang dalam ruang (artists interpretation), yaitu di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Sangkring Art Space, dan Jogja National Museum (JNM). Tentu saja, sehubungan dengan penempatannya di ruang publik, media massa tergerak untuk memberitakannya lebih gencar daripada upaya peliputan yang komprehensif.

Ide memajang karya para perupa di ruang publik memang untuk melibatkan emosi-responsi-apresiasi masyarakat kota Jogja terhadap karya-karya seni rupa. Secara simbolik pemanfaatan ruang publik merupakan upaya untuk membuka sekat penikmat umum terhadap karya seni rupa. Asumsinya, penikmat seni rupa yang tergerak datang ke galeri-galeri yang memamerkan karya perupa cenderung penikmat selektif (tentu pula, pembutuh, pemerhati dan kolektor).

Tetapi, ternyata, risiko keriuhan senantiasa rawan diboncengi sensasi. Niatan semula, karya yang dikategorikan artists interpretation maupun public on the move tetap dalam konteks bingkai kuratorial sebagai gerakan arsip. Faktanya, karena boncengan sensasional, bingkai kuratorial itu ketika merespon ruang publik bagai terlepas. Konsekuensi atas gagalnya menepis virus sensasional, Samuel Indratma sebagai Koordinator Ruang Publik --belakangan berubah sebutannya menjadi anggota tim kurator bersama Eko Prawoto dan Hermanu-- berimbas kemana-mana.

Pertama, bingkai kuratorial sudah mulai tanggal saat panitia yang membawahi ruang publik dengan sengaja mengundang perupa Syaiful Hajar (Surabaya), Antonius Kho (Bali), dan Kelompok Mojokerto. Memang, misalnya, biennale kali ini diikuti Dadang Christanto yang kini bermukim di Darwin. Begitu pula dengan kesertaan Eddie Hara yang langsung hadir dari Swiss. Dari dalam negeri yang tidak bermukim di Jogja, setidaknya bisa disebut: IG Mangu Putra, Sucipto Adi (Bali), Amrus Natalsya, Misbach Tamrin, Adrianus Gumelar, Haris Purnama, Ronald Manulang (Jakarta), Bonyong Munie Ardhi (Solo), dan Mulyono (Tulungagung).

Hanya saja, keberadaan mereka jelas berbeda dengan Syaiful Hajar, Antonuius Kho, dan Kelompok Mojokerto, yang nota bene memang bagian dari ‘arsip seni rupa Jogja’ hanya kebetulan kini menyebar kemana-mana. Terdapat pula nama-nama Mella Jaarsma (Belanda, kini jadi WNI), Nadia Bahamadj (Malaysia), dan Nia Fliam (AS). Tetapi, soalnya, mereka memiliki ikatan historis dan kontributif dengan-dalam-terhadap seni rupa Jogja.

Kedua, perizinan yang tidak tuntas. Ketidaktuntasan perizinan ini, pada satu sisi bukti ketidaktanggapan aparatus negara (arogansi birokrasi, tidak peduli, dan merasa jadi subordinat Jogja Biennale X). Akibatnya, ada camat yang melarang karya perupa dipajang di wilayah administratifnya. Pihak keamanan tidak mengizinkan halaman luar rumah dinas Wali Kota jadi lokasi penempatan karya (padahal sang wali kota Herry Zudianto mengizinkan, tetapi pada hari bersangkutan ia sedang melakukan kunjungan kerja ke Amerika).

Bahkan, para pekerja seni rupa yang sedang asyik-asyiknya menggarap karya mereka di Bunderan Kampus UGM Bulaksumur sempat diringkus satpam dan diinterogasi sekitar 2 jam: persis memperlakukan brandalan yang sesekali melakukan aksi corat-coret. Ternyata ekspos media yang sangat memadai atas biennale kali ini dibarengi restu --bahkan-- antusiame Sultan HB X serta kehadiran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik (reperesentasi pemerintah pusat) saat pembukaan 10 Desember  2009 silam kehilangan tajinya.

Pada sisi lain ihwal perijinan membuktikan panitia yang mengurusi karya-karya ruang publik tidak betul-betul serius menanganinya. Dari beberapa kasus tercuat sejumlah perupa gagal berpartisipasi karena ijin tidak kunjung keluar dari pihak-pihak terkait. Perupa S. Teddy D. urung menyertakan karyanya karena terhambat ijin dari instansi Kantor Pos. Rencananya Teddy akan membentangkan tulisan “Disini Dijual” (sambil menyiapkan maket kantor pos Jogja yang memang dapat dibeli siapapun yang membutuhkan.

Popok Tri Wahyudi nyaris mendapat perlakuan serupa, karya-karyanya diperuntukkan sebagai alas sandaran kursi pada pesawat atau kereta api. Tapi perijinan untuk memajang kreasinya tidak jelas juntrungannya. Yerry Padang, tetap berpartisipasi sekalipun lukisan realisnya yang memikat berukuran raksasa 3 x 6 meter bertajuk “Posmodernisme Rakyat Agraris” yang menampilkan tiga rupa perupa penting kita Basuki Abdullah, Affandi dan Sudjojono. Sama saja, karya Yerri hingga kini terbengkalai dibiarkan teronggok di luar gedung pameran TBY berjajar dengan wayang-wayang Syaiful Hajar. Padahal Yerri karya Yerri diplot dipajang di depan Stasiun Tugu (setelah keinginannya semula di Bandara Adisutjipto terganjal). Perupa Dipo Andy –yang menampilkan video art “Hipocrite Theory” di JNM-- terkesima menyaksikan keseriusan dan intensitas Yerri yang merampungkan karyanya dalam dua minggu, melukis siang-malam di TBY.

Ketiga, sensasi ruang publik yang didapat melalui liputan media yang relatif gencar daripada karya-karya berkategori artists interperetation (dalam gedung); menyisakan kealpaan yang mengganggu. Urusan ruang publik yang mengaitkan relasi perupa-aparatus negara-publik sekitar-publik penikmat terbukti tidak tergarap apik. Buktinya, selain sejumlah kegagalan beberapa perupa ikut serta dan karya yang tidak ditempatkan sebagaimana plot program ada juga resistensi warga sekitar lokasi karya dipajang yang menilai berbau sara  (ini dialami perupa Bayu Merdeka di perempatan Ngabean). Rupa kepala patung diasosiakan warga setempat sebagai sosok sakral Yesus Kristus. Untungnya, komunikasi dengan warga dapat terjalin sehingga kemungkinan konflik dapat dihindari.

Keempat, hal elementer luput dari setting ruang publik. Masyarakat tidak mendapatkan informasi apa-apa menyangkut para perupa dan sekelumit tentang karya mereka. Agak musykil memang, bila mereka yang mengurusi ruang publik beranggap soal apresiasi adalah sesuatu yang given; maksudnya, ngerti syukur nggak ngerti yang sudah. Tetapi, mengapresiasi seni rupa bukanlah soal paham atau tidak: informasi terkait perupa dan karyanya membantu masyarakat untuk mengapresiasi (termasuk mereka yang nota bene melek seni rupa sekalipun).

Wilman Syahnur, tampaknya berhasil mendapat liputan luas media melalui karyanya Barrack Obama yang naik di atas becak yang dikayuhnya sendiri mengelilingi kota Jogja. Ada beberapa kalimat pada tubuh becak: save Palestine, save Afghanistan, save Iraq sambil Obama mengacungkan dua jari simbol perdamaian. Selain karena momentum sensasional yang membonceng ruang publik, Wilman menyodorkan Obama yang popular itupun dengan cara naik becak berkeliling-keliling kota. Apalagi, Obama sempat tersungkur  (nasib yang sama dialami misi peradamaian yang dibawanya?) digips lalu diberi perawatan di RS. PKU Muhammadiyah.   

Kelima, hal keempat di atas tentulah berimplikasi terhadap kemungkinan tidak maksimalnya  para perupa yang memilih karyanya untuk dipajang di ruang publik melakukan eksplorasi. Karenanya, beberapa karya terkesan tidak ditempatkan di lokasi yang sesuai (karya dan ruang tidak klop dengan bentuk dan isu yang digagas).  

Di luar kemungkinan adanya skenario untuk mengukuhkan paksa atas penonjolan seni rupa di ruang publik, setidaknya kemungkinan untuk (sekadar) mengejar sensasi dapat direngkuh biennale kali ini. Kita mungkin tidak perlu berdebat panjang mengenai kontradiksi (atau dua sisi yang tidak persis bisa dijalin) antara ruh kearsipan  ketika disandingkan dengan keriuhan sesaat yang ingin dicapai lewat Jogja yang jamming.

Afnan Malay
Pemerhati Seni Rupa, tinggal di Jogja

http://www.indonesiaseni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148:sensasi-jogja-biennale-x 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar